Tuesday, May 02, 2006

Mati Sebelum Mati

Ada artikel yang cukup menarik untuk disimak:

Setelah lama belajar menyelami sebagian samudera "kebetulan",
melihat, mendengar dan membaca tanda-tanda makna di balik banyak
sekali peristiwa kebetulan, ternyata manuskrip tua di Peru itu
betul : tidak ada kejadian yang kebetulan. Semuanya terangkai dalam
jejaring makna yang sempurna. Cuman hanya karena kemampuan manusia
untuk mengerti demikian terbatas, maka ada bagian-bagian dari
jejaring makna tadi yang tidak terlihat. Dan bagian yang tidak bisa
ditangkap oleh pengertian manusia yang terbatas inilah, yang
kemudian diberi judul kebetulan.

Dalam teropong makna seperti ini, bisa dimaklumi kalau ada seorang
sahabat yang pernah terperangah oleh sebuah tulisan saya. Bukan
karena tulisannya bagus atau hebat, sekali lagi bukan. Namun karena
pagi-pagi ia membaca tulisan saya yang berjudul "Kematian juga
mempesona", siangnya ia ditinggalkan oleh Ibu kandungnya melalui
proses kematian. Serupa dengan tulisan ini, ketika tangan-tangan ini
sedang merapikan komputer sebagai persiapan menulis, seorang sahabat
menelpon : "saya tersentuh dengan suara Anda di radio pagi ini
tentang mati sebelum mati!".

Ada bagian-bagian dari tubuh ini yang pernah tersentuh oleh
nasehatnya Winston Churchill. Di sebuah kesempatan, Churchill pernah
berucap : we make a living by what we get, we make a life by what we
give. Kita hidup dari apa-apa yang kita peroleh. Dan menciptakan
kehidupan melalui apa-apa yang kita beri. Pesan ini menjadi demikian
menyentuh, terutama karena kehidupan di zaman ini menghabiskan
terlalu banyak waktu dan tenaga untuk mendapatkan sesuatu. Dan
demikian sedikit yang kita alokasikan untuk memikirkan hal-hal yang
bisa kita berikan.

Begitu ada orang lain yang menyebutkan kalau kita baru saja memberi -
kendatipun dalam nilai yang masih bisa diperdebatkan - ada
gelombang-gelombang kejernihan yang menghempas di dalam sini. Ia
membersihkan, memurnikan sekaligus menjernihkan. Sehingga bisa
dimengerti kalau ada sejumlah sahabat dengan modal-modal kepekaan
yang mengagumkan, kemudian mudah sekali meneteskan air mata,
terutama ketika tangannya harus menerima serangkaian pemberian.

Tidak saja pemberian dari orang lain, tetapi juga pemberian dari
semesta dan pencipta. Seperti ada bagian-bagian tertentu dari pintu
hati ini yang sedang diketuk, demikianlah pengalaman sejumlah
sahabat ketika harus menerima pemberian. Jangankan memperoleh rezeki
yang besar, menghirup nafas, melihat pemandangan yang indah, rumput
menghijau, bunga yang mekar di taman, anak istri yang sehat
walafiat, langit biru dan bahkan matahari terbenam dengan bentuk
wajah tertentupun mudah sekali menyentuh. Sehingga dalam totalitas,
hidup ini sebenarnya hanyalah sebuah jejaring pemberian. Sejak janin
kita diberi makan oleh Ibu, dan sampai sekarangpun masih diberi
makan oleh Ibu yang lain.

Ada sahabat yang bertanya, dari mana kepekaan-kepekaan seperti ini
bisa diperoleh ? Inilah logika manusia masa kini, semuanya dilihat
dan dicari dalam kerangka memperoleh, sedikit sekali yang memulainya
dengan kata memberi. Ada memang sahabat yang berpendapat kalau
kepekaan bisa diperoleh. Entah melalui proses belajar, mendengar,
meniru dan masih ada lagi yang lain. Dan tentu saja cara pandang
seperti ini layak dihargai.

Sama layaknya untuk didengar, ada juga sahabat yang menyebutkan
kalau kepekaan akan muncul dengan sendirinya di dalam kalau manusia
rajin memberi. Memberi, itulah titik berangkat menelusuri jalan-
jalan kepekaan. Ada yang merayakan ulang tahunnya di Panti Asuhan.
Ada yang menjadi pelayan umat di tempat ibadah masing-masing. Ada
yang rajin membantu orang lain. Ada yang menebar senyuman di mana-
mana. Ada yang memiliki tabungan tindakan-tindakan kecil yang tidak
dikenal.

Setiap tangan yang rajin serta konsisten memberi, entah dari mana
datangnya energi, tiba-tiba saja seperti ada yang mengirimi
serangkaian kepekaan. Negatifnya, manusia jenis ini disebut oleh
manusia lain sebagai terlalu perasa. Positifnya, ia terhubung secara
mudah dengan jejaring makna. Sehingga dalam hampir setiap langkah,
ia dibimbing, diberitahu, diarahkan serta dilindungi. Bisa dimaklumi
kalau mereka kemudian mudah sekali meneteskan air mata. Bukan karena
cengeng, melainkan karena kehidupan sudah demikian baiknya pada
orang-orang jenis ini.

Dalam teropong makna yang lain, ada sahabat yang menyebut kelompok
manusia seperti ini dengan manusia yang sudah mati sebelum mati.
Sebelum tubuhnya disebut mati secara medis, ada kematian lain yang
sudah menjemputnya terlebih dahulu. Yakni kematian manusia dari ego,
aku, subyek, dan identitas sombong serta angkuh lainnya. Pengetahuan
dan bahasa memang mengenal subyek dan obyek. Logika-logika
pengetahuan tertentu juga menempatkan manusia dalam posisi
mengetahui, dan selain manusia didudukkan dalam kursi diketahuin.
Namun, kehidupan yang sudah mati sebelum mati tidak mengenal
identitas subyek dan obyek, tidak ada kotak mengetahui diketahui,
yang ada hanya sebuah jejaring makna. Di mana semuanya terhubung
demikian rapinya.

Dalam bahasa salah seorang pejalan kaki di bidang ini : when I
discovered that I am nothing, I am well connected with everything .
Ketika manusia menyadari dirinya bukan apa-apa, ia terhubung secara
amat rapi dengan jejaring makna. Dan kemudian lebih dari sekadar
terhubung, gerakan-gerakan hidup berjalan sangat seirama dengan
semesta. Tidak ada kata yang lebih berguna dari kata syukur dalam
hal ini. Ada sahabat yang berani mati sebelum mati? ***